Dalam istilah biologi, arkeologi, maupun umum, spesies manusia modern dinamakan Homo Sapiens. Berasal dari bahasa latin, homo berarti manusia dan sapiens berarti bijaksana. Seharusnya, Homo Sapiens adalah satu-satunya spesies manusia di muka bumi. Namun nyatanya, di Provinsi Banten, juga dapat ditemukan satu spesies manusia: Homo Sacer.
Istilah atas spesies ini “dihidupkan” kembali oleh Giorgio Agamben setelah pernah muncul pada masa Romawi Kuno 30 abad yang lalu. Sama seperti kerabatnya, Homo Sacer berasal dari bahasa latin, dengan Sacer sendiri diartikan sebagai suci atau terkutuk. Lantas, pada masa kuno tersebut Homo Sacer merujuk pada orang-orang yang boleh untuk dibunuh, tapi terlarang untuk menjadi korban bagi ritual keagamaan. Meski berada dalam lingkup negara/kerajaan, namun hak mereka tidaklah penuh.
Lewat buku Homo Sacer: Kekuatan Tertinggi dan Kehidupan Telanjang (terjemahan), Agamben lantas menggunakan kembali konsep ini untuk merujuk pada orang-orang yang tersingkirkan dalam kehidupan sosial. Homo Sacer dalam konteks masa kini adalah mereka yang hak asasinya direnggut secara semena-mena, namun pelakunya tidak mendapatkan sanksi. Meski dunia masa kini telah begitu familiar dengan konsep “demokrasi” dan “hak asasi manusia” – ditambah juga kehadiran negara, pemerintah, dan sistem hukum yang menjaminnya – namun Agamben menekankan bahwa Homo Sacer masih lahir di antara para Homo Sapiens.
Mirisnya, kehadiran Homo Sacer demikian masih dapat ditemukan di Banten. Di wilayah paling Barat Pulau Jawa ini, persoalan agama menjadi induk peminggiran manusia-manusia. Pada tahun 2010, Wahid Institute mencatat Banten sebagai daerah dengan tingkat toleransi terendah antar umat beragama. Bentuk intoleransi yang paling banyak terjadi adalah pembatasan rumah ibadah dan aktivitas ibadah, ancaman kekerasan, hingga penyerangan properti (Tempo.co, 22/8/2010).
Setelah enam tahun, nilai toleransi beragama Banten menjadi yang paling rendah di Pulau Jawa (dengan skor -51). Di tingkat nasional, nilai tersebut hanya lebih tinggi daripada Provinsi Aceh (-057) – menunjukkan tidak adanya perubahan berarti dalam provinsi ini (Tirto.id, 17/7/2018). Mengacu pada artikel Duta Damai Banten terdahulu (30/8/2022), Kota Cilegon di Banten bahkan menempati peringkat tiga kota paling intoleran di Indonesia. Ketimpangan jumlah rumah ibadat menjadi indikator yang paling jelas.
Apa yang terjadi di Banten menunjukkan bagaimana ketiadaan peran pemerintah dalam menghadirkan prinsip “demokrasi” dan “hak asasi manusia” sebagaimana yang kerap dipromosikan. Begitu minim peran pemerintah dalam membela manusia-manusia minoritas yang menghadapi kekerasan dan diskriminasi agama. Dalam kondisi ini, pemerintah seolah melanggengkan diskriminasi yang terus terjadi antar manusia di Banten.
Kelompok agama minoritas pun menjadi Homo Sacer dalam negara yang “katanya” demokrasi dan menjunjung hak asasi. Lewat pandangan Agamben, kelompok ini menjadi obyek kekerasan dan diskriminasi karena identitas agama mereka. Namun, sebagaimana tampak, hukum dan pemerintah tidak sudi melindungi – tampak lewat tidak adanya konsekuensi hukum apa pun bagi para pelaku kekerasan dan diskriminasi.
Meski begitu, dalam segala kondisi penyingkiran kepada para Homo Sacer di Banten, masih terdapat nafas segar di Banten. Sejumlah manusia Banten – yang sungguh-sungguh mewujudkan identitas “bijaksana”/Sapiens mereka – lantas menelurkan inisiasi toleransi. Salah satunya adalah Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII) yang mengembangkan program pendidikan damai di sekolah.
Berbeda dengan pendidikan agama pada umumnya yang menekankan pelaksanaan ritual ibadah, program ini mendorong siswa lintas agama untuk mendiskusikan nilai-nilai kebaikan yang dikandung semua agama. “Idenya muncul terinspirasi dari inisiatif AGPAII tahun 2014 yang mempertemukan para guru agama Islam dari golongan Sunni, Syiah, dan Ahmadiyah,” kata Ketua AGPAII Tangsel Tajudin di SMAN 6 Tangsel, Kamis (9/1/2020). Program pun telah diselenggarakan sejak Januari 2019 di tiga sekolah percontohan di Tangerang Selatan, Banten (Kompas, 10/1/2022).
Pada akhrinya, para guru inilah, yang secara nyata menunjukkan diri layak disebut Homo Sapiens (manusia bijaksana). Mereka telah membuktikkan diri mampu menjadi wujud Homo Sapiens yang nyata dalam evolusi nenek moyang manusia selama ribuan tahun. Dalam kebijaksanaan, prinsip hak asasi manusia tidak lagi berupa ucapan semata, namun juga dihidupkan dalam kehidupan.
AGPAII menjadi cercah cahaya Banten dalam gelap masalah Homo Sacer. Namun masih diperlukan juga usaha-usaha lebih dari lebih banyak aktor. Oleh karenanya, dalam masalah rendahnya toleransi Banten ini, dapatlah dijadikan wadah untuk melihat: pihak manusia mana yang sungguh-sungguh sudah berevolusi menjadi Homo Sapiens ?
Penulis : Josef Christofer Benedict
0 comments on “HOMO SACER DI BANTEN?” Add yours →