Tuhan telah memberikan anugerah kepada makhluk-Nya dengan karakteristik masing-masing. Adanya perbedaan merupakan suatu keniscayaan yang mutlak dan tidak dapat dihindari oleh setiap makhluk. Oleh karena itu, merawat nilai perbedaan adalah suatu wujud ketaatan suatu hamba kepada Tuhannya.
Merawat perbedaan yang merupakan sebuah keniscayaan mutlak tidak semudah membalikkan telapak tangan. Realitanya, perbedaan yang merupakan suatu hal yang mutlak kerap menjadi ‘penyulut’ api perkelahian antar kelompok. Perkelahian antar kelompok inilah yang terkadang justru bertentangan dengan nilai semangat memahami perbedaan. Maka dari itu, merawat nilai perbedaan inilah yang harusnya menyatu dalam pribadi tiap individu dan kemudian menjadi tradisi dalam bersosialisasi.
Di Indonesia, keragaman suku, ras dan agama akhir ini menjadi sorotan negara Timur Tengah dalam dalam memahami perbedeaan. Meski Indonesia terdiri dari beberapa suku, ras dan agama, akan tetapi perbedaan ini menjadi ‘ciri khas’ nusantara dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan ‘ciri khas’ inilah, sebagai warga Indonesia semestinya kita merawat ‘ciri khas’ tersebut dan menaburkan di tanah Indonesia.
Merawat tradisi toleransi dalam hal beragama khususnya, nampaknya mesti bersaing dengan tradisi yang intoleransi. Bukan suatu hal yang mustahil, paham intoleransi yang acap kali muncul di masyarakat dapat menyusupi pola pikir masyarakat. Paham ini yang nantinya akan menjadi bibit radikalisme, terorisme bahkan ekstrimisme. Tentu paham ini merupakan suatu ‘lampu merah’ bagi masyarakat Indonesia. Karena paham inilah yang akan berdampak kepada ketahanan dan keamanan Republik Indonesia.
Dogma paham kelompok ekstrimis terus mengakar dan dapat merangkai sebuah konstruksi pemikiran yang membahayakan orang lain. Bagaimana tidak, bagi mereka jihad yang realitanya justru ‘kekerasan’ menjadi sebuah kewajiban menurut ajaran mereka. Bom, pembunuhan, dan kekerasan lain sudah seperti suatu bentuk ritual dalam keseharian aktivitas mereka.
Mengulik ke belakang, Nurcholish Madjid (1939-2005) dalam pidatonya di Taman Ismail Marzuki pada tahun 1972 dan1992, beliau menyampaikan;
“Apakah ada kebaikan didalam kehidupan agama dimasa yang akan datang? Agama pada hakikatnya mengajak kebaikan, tapi justru ketika seseorang semakin dalam beragama, dia akan semakin kental menganggap dirinya benar dan mudah menganiaya orang lain. Tentu harus dicari pemecahan, karena Indonesia akan menghadapi masalah ini. Dan salah satu yang bisa kita gunakan untuk menghadapi permasalahan ini ialah mencoba memahami agama dengan baik dan benar”
Dalam pidatonya tersebut, Cak Nur sapaan akrabnya menjelaskan bahwasanya kehidupan beragama di masa depan akan muncul sebuah perpecahan dikarenakan terlalu kental dalam beragama. Kental yang dimaksudkan disini adalah ketika seseorang mendalami ajaran agama, akan tetapi kemudian menganggap dirinya benar dan mudah ‘mengkafirkan’ orang lain yang tidak sepemahaman dengan mereka. Maka dari itu, perlu dicari sebuah ‘titik temu’ agar kehidupan beragama dimasa yang akan datang dapat berjalan tentram dan damai.
Maka toleransi-lah jawabannya. Toleransi merupakan sebuah ‘power’ agar kehidupan beragama dimasa yang akan datang dapat berjalan damai dan tentram. Agama yang seharusnya memberikan solusi atas problem humanitas, seharusnya menjawab problem itu sendiri. Dan jangan sampai malah membuat suatu perpecahan. Maka, mewariskan tradisi toleransi merupakan sebuah upaya untuk menjaga kehidupan beragama di masa depan.
0 comments on “MERAWAT TOLERANSI, MERAWAT TRADISI” Add yours →