Pluralisme sering dipahami sebagai sebuah kerangka interaksi yang setiap orang atau kelompok yang ada di dalamnya menampilkan kehidupan yang toleran dan saling hormat satu sama lain. In the other words, pluralisme merupakan sikap mengedepankan serta menghargai perbedaan dan keragaman yang ada di masyarakat, bukan hanya sebuah wacana tetapi juga diaplikasikan dalam realitas kehidupan. Toleransi dan saling menghormati adalah point penting yang paling menonjol dalam pluralisme.
Nurcholis Madjid atau Cak Nur, seorang cendikiawan muslim memaknai pluralisme sebagai pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban, a genuine engangement of diversities within the bounds of civility. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga menggambarkan hal yang sejalan dengan Cak Nur dalam memaknai pluralisme. Gus Dur menggambarkan pluralisme di negeri ini sebagai sebuah rumah yang memiliki banyak kamar yang di setiap kamarnya dihuni oleh entitas yang berbeda-beda, bukan hanya berbeda agama namun segala bentuk perbedaan. Demi menjaga keutuhan rumah tersebut, masing-masing penghuni kamar harus saling menghargai satu sama lain dan tidak egois atas rasa paling berhak memiliki rumah itu sendiri.
Makna-makna tersebut menjadikan pluralisme sebagai sebuah ruang yang sangat nyaman bagi perbedaan-perbedaan yang ada, karena pada hakikatnya pebedaan adalah entitas yang sangat mendasar sifat kemanusiaan seorang manusia. Maka, jika masih ada penolakan atas pluralisme, itu disebabkan oleh kesalahpahaman belaka yang harus segera diluruskan.
Hal yang paling sering dipermasalahkan dalam pluralisme adalah pluralisme agama. Tidak sedikit masyarakat kita yang menganggap bahwa pluralisme agama adalah upaya pencampuradukkan aqidah dengan menyamaratakan semua agama, padahal bukan demikian yang dimaksud pluralitas agama. Pluralitas bukan untuk merevitalisasi dan menyampuradukkan aqidah. Pluralisme agama tidak sama sekali menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Namun yang dimaksud dari pluralisme agama disini adalah menghargai dan menghormati penganut agama lain yang berbeda dengan kita, sama seperti kita ingin dihargai.
Setiap agama tentu memiliki ajaran yang sudah tentu berbeda, dengan syariat dan cara yang berbeda-beda pula. Setiap agama memiliki konteks partikularitasnya sendiri sehingga tidak mungkin semua agama sama persis. Pluralisme hadir untuk pengakuan dan penghormatan secara aktif kepada penganut agama lain. Agama lain yang berbeda dengan kita harus dihormati keberadaannya sebagaimana kita ingin orang lain menghargai keberadaan agama yang kita anut.
Ada tiga nilai universal yang harus dipenuhi agar pluralisme hadir sebagai agen permaslahatan bangsa, yakni: kebebasan, keadilan, dan musyawarah.
Pertama, kebebasan menjadi prasarat pluralisme. Entitas kemajemukan bukan hanya dilindungi hak hidupnya tetapi dilindungi juga hak untuk mengekspresikan identitasnya di ruang publik. Dalam hal ini hak-hak asasi warga negara harus dijamin tanpa terkecuali.
Kedua, demi terwujudnya keadilan maka dikotomi mayoritas-minoritas harus dijauhkan. Dikotomi tersebut bukan hanya mengancam keadilan tetapi juga mengarah pada disintegritas. Pluralisme tidak hanya mensyaratkan sikap bersedia mengakui hak kelompok lain tetapi juga berlaku adil kepada kelompok lain atas dasar perdamaian dan saling menghormati.
Ketiga, musyawarah menuntut kesadaran dan sikap partisipatif. Itu berarti hidup bersama bukan hanya sekedar secara sosial adn praktis tapi juga secara teologis. Toleransi harus dilakukan dengan sepenuh hati, tidak boleh hanya sekedar menerima keberagaman tetapi juga bagaimana agar keberagaman tersebut membawa manfaat.
Sumber:
Mahfud MD, Moh. Sistem Demokrasi di Indonesia dalam Bingkai Pluralisme dalam Demi Kemaslahatan Bangsa. Bekasi: PT Penjuru Ilmu Sejati. 2016.
0 comments on “Pluralisme: Respek dan Toleran Terhadap Perbedaan” Add yours →