Akhir-akhir ini warga dunia di gegerkan dengan informasi terkait dengan pasca runtuhnya kelompok radikal yaitu Islamic State in Iraq and Syiria atau biasa di sebut dengan ISIS. Dimana ISIS merupakan organisasi gerliyawan islam Irak dan Suriah yang terbentuk dari akibat invasi Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003 sehingga hanya melahirkan kaum teroris yang pada awalnnya hendak di singkirkan akibat tidak ada tujuan dan rencana yang matang. Bentuk Negara ilegal yang di pimpin oleh Abu bakar al-Baghdadi ini di perkirakan memiliki luas wilayah 400.000 KM2 meliputi wilayah selatan Iraq hingga wilayah pesisir Suriah dan memiliki kekayaan mencapai 20 triliyun rupiah atau sekitar 10.000 US dollar. Semua aset yang dimiliki ISIS bukan tanpa sebab, mereka mendapatkan semua itu dari hasil perampokan, penjarahan, memeras warga yang melintas daerah yang di kuasai dan menagih pajak dari anak-anak. Selain itu, ISIS juga melakukan berbagai kekejaman kepada semua kalangan umur tidak memperdulikan anak kecil atau dewasa, ibu-ibu atau bapak-bapak. Investigator mengatakan, ISIS melancarkan kampaye katakutan di Suriah Utara, termasuk mengamputasi, mengeksekusi, dan mencambuk warga disana. Kemudian tubuh orang-orang itu ditempatkan di areal umum. Para perempuan yang dinilai tidak mematuhi aturan berpakaian ISIS juga dicambuk. Anak-anak juga disana direkrut dan dilatih di kamp-kamp ISIS dengan bentuk kekerasan yang kemungkinan akan menyebar ke negara tetangga. Hal ini tentu harus dibawa ke International Crimnal Crout, karena ISIS telah menewaskan sekitar 200.000 orang disana. Pada dasarnya ISIS adalah suatu organisasi ilegal yang sedang berusaha membangun Negara Islam di wilayah Irak dan Suriah. Ideologi organisasi ini menarik pelaku jihad dari berbagai negara, termasuk negara Indonesia. (Handoko Soekarno 2015, kompasiana.com).
Meskipun pada 2014 lalu ISIS mendeklarasikan pembentukan Negara kekhalifahan dengan wilayah yang telah di rebut sebelumnya sekitar sepertiga dari Suriah dan Iraq, akhirnya 23 Maret lalu melalui SDF (Syrian Democratic Forces) atau Pasukan Demokratik Suriah mengumumkan kekalahan ISIS. Pasukan SDF yang didominasi suku Kurdi ini melakukan pemberontakan terhadap ISIS dengan berbagai dukungan dari mulai koalisi multinasional pimpinan AS (Australia, Bahrain, Prancis, Yordania, Belanda, Arab Saudi, Turki, Uni Emirat Arab dan Inggris), pasukan yang setia kepada Presiden Bashar al-Assad sampai bantuan serangan udara Rusia milisi yang didukung Iran turut serta di dalam nya. Serangan di mulai Agustus 2014 di Iraq dan sebulan setelahnya di Suriah dengan serangan udara pesawat-pesawat Operation Inherent Resolve yang melakukan lebih dari 13.400 serangan udara di Iraq juga lebih dari 16.100 di Suriah hingga menewaskan 5.200 anggota ISIS berdasarkan laporan Kementrian pertahanan Rusia pada Agustus 2018. (Agregasi BBC Indonesia, Jurnalis 2018, news.okezone.com)
Sejumlah laporan baru-baru ini mengatakan bahwasanya masih cukup banyak ribuan militan ISIS. Para ahli PBB memperkirakan kantung besar militan ISIS di berbagai di Libya ( antara 3.000 hingga 4.000 orang) dan Afganistan sekitar 4.000 orang. Kelompok ini juga memiliki militant dalam jumlah banyak di Asia Tenggara termasuk Indonesia, Afrika Barat, Semenanjung Sinai Mesir, Yaman Somalia dan Sahel. Kini ISIS dengan banyak militan mengubah taktik dengan kembali ke akar pemberontakan mereka. yakni melakukan pemboman, pembunuhan dan penculikan guna membangun kembali jaringan mereka termasuk tanda-tandanya yang terlihat jelas di Indonesia. Dalam menanggapi hal tersebut, sangat di butuhkan wawasan dan pengetahuan terkait gerakan radikal yang mirip dengan ISIS.
Gerakan radikal yaitu Terorisme di Indonesia telah lama tumbuh dan mengakar terutama sebelum di atur dalam Undang-undang No 15 tahun 2003 dan PP No 1 Th 2002 seperti gerakan di Ambon dan Papua yang memiliki kesamaan nilai sebagai gerakan Separatisme atau gerakan yang bertujuan merubah Ideologi Pancasila dengan Ideologi berdasarkan Agama. Gerakan yang memang di dasari dengan ilmu agama yang kurang akan mengakibatkan kesalahpahaman dan kerancuan dalam segala aktifitas kehidupannya. Kelompok tersebut cenderung mengedepankan aqidah daripada tata kehidupan yang nyata sehingga dalam rekrutmen nya seolah kondisi saat ini adalah harus berperang dengan musuh yaitu orang yang berbeda aqidah. Selain narasi perang dan kebencian, menyebarkan rasa takut, menjatuhkan wibawa pemerintah, mempublikasikan ketidakpuasan dengan menarik perhatian media, berusaha melegalkan semua perbuatan dalam perang, mencoba mencari dukungan domestik dan internasional, mengacaukan suasana ekonomi negara sehingga timbul suasana anomie, serta senantiasa berjuang mengembangkan human resources adalah model perjuangan mereka.
Berdasarkan pemaknaan Daulah Islamiyah, Al Qur’an tidaklah menggunakan istilah jihad untuk perang, tetapi lebih pada “qital”. Jihad itu artinya etika kerja keras dan bersungguh-sungguh. Qital memang diperintahkan dalam Alquran dalam kondisi tertentu, dengan syarat tidak melampaui batas, digunakan untuk memaafkan, dan yang terpenting “mencari perdamaian”. Dalam beberapa ayat di Al-Quran tentang berjihad tidak bisa di maknai seenaknya. Beberapa ulama memaknai jihad yaitu memerangi hawa nafsu, membela kaum yang tertindas, memberantas kejahatan dan menegakkan kebenaran.
Berdasarkan hal tersebut, sudah sangat jelas, bahwasanya ideologi radikal tersebut kurang memiliki dasar yang kuat dan sangat rancu. Dengan runtuhnya ISIS, kewajiban masyarakat Indonesia dengan berbagai macam suku, agama, ras dan budaya diharapkan tetap waspada dengan timbulnya Ideologi kekerasan baru dan mencegah Ideologi tersebut masuk ke Indonesia dengan cara mencari segala data informasi yang valid, tidak mudah terprovokasi dan selalu menjaga kedamaian. Karena sejatinya dalam mengamalkan ajaran Rasulullah yaitu dakwah tanpa kekerasan, menyayangi sesama manusia dan selalu menjaga perdamaian di muka bumi.
0 comments on “Perang ISIS Reda, Indonesia Waspada” Add yours →