JALAN
Oleh : Putri S. A
Bukan tentang kuantitas, tapi tentang kualitas.
Barga tersenyum miring pada kalimat terakhir di sajak milik kawan sekelasnya. Ia lagi-lagi tersaingi dalam hal publikasi. Padahal menurutnya, karya yang ia buat jauh lebih baik dibanding milik Sekar. Mungkin saja. Namun nyatanya ekstrakulikuler Mading lebih memilih memajang kertas berwarna merah muda tersebut. Astaga, mau ditaruh di mana mukanya nanti?
Barga adalah anak tunggal dari pasangan yang menjiwai kesusastraan. Ayahnya adalah dosen sastra Indonesia, sementara ibunya adalah seorang penulis terkenal. Tidak aneh bila orang-orang membandingkan kemampuan Barga dengan kedua orangtuanya. Dan sekarang ia akan mendengar kata-kata itu lagi.
“Barga, bisa titip ini untuk ibumu?” Barga menoleh ke arah suara di belakangnya. Bu Astuti, guru bahasa Indonesia yang baru saja dilantik jadi PNS tahun ini.
Pemuda jangkung itu menerima sebuah novel yang ia kenali sebagai salah satu novel karangan ibunya. Pasti Bu Astuti berniat meminta tanda tangan ibunya dan memamerkan di social media. Seperti sebelumnya.
“Bisa Bu,” jawab Barga sekenanya.
“Ibu penasaran kenapa karyamu tidak pernah dipajang. Padahal menurut ibu, potensimu besar lho. Kalau ibu jadi kamu, ibu sudah pasti jadi penyair terkenal!”
Halah! Batin Barga dalam hati.
“Ibu sangat menikmati puisi karya ibumu, Barga. Ibu harap, suatu saat ibu dapat membaca karyamu juga, ya.”
Barga mengangguk sopan. Ia menatap punggung Bu Astuti dengan perasaan tak karuan. Jadi memang ia yang tidak berguna dan tak punya bakat ini, tak pantas jadi anak dari seorang sastrawan?
___
Bagian yang paling Barga sukai di hari sabtu adalah ikut ibu ke kantor penerbitan. Ia mencium buku baru juga mengamati kerja editor dan marketing yang saling bahu membahu menjadikan sebuah kisah layak dibaca dan dipeluk oleh para penikmatnya. Salah satu lainnya, Barga berkesempatan mendapatkan eksamplar lebih dulu daripada di pasaran.
“Kamu suka membaca sajak lama, Barga?” Tanya Kak Sena. Salah satu editor di sana.
“Kami punya banyak di rumah, tapi tidak ada yang benar-benar selesai aku baca.”
“Oh ya? Artinya kamu sudah membaca karya Chairil Anwar? Kami sedang membuat biografinya. Beliau adalah sastrawan yang hampir tak pernah editor sunting karangannya. Padat. Penuh makna. Beliau terkenal sebagai penyair yang hidup dan matinya tidak dapat dilepaskan dari puisi Indonesia modern sehingga ia menjadi pelopor Angkatan 45 dalam Sastra Indonesia.”
“Aku rasa belum membaca semuanya. Tapi kata-kata yang paling kuingat adalah ‘mampus kau dikoyak sepi’,” balas Barga. Ia duduk dan membaca judul bab pertama yang ditulis dengan font Cooper Black.
Chairil Anwar lahir pada tanggal 22 Juli 1922 di Medan, Sumatra Utara. Pernah mengenyam pendidikan dasarnya di sekolah dasar pada masa Belanda, yaitu Neutrale Hollands Inlandsche School (HIS) di Medan. Setelah tamat dari HIS, Chairil Anwar meneruskan pendidikannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Medan, sebuah sekolah setingkat dengan SLTP namun tidak diselesaikan. Setelah itu, Chairil Anwar belajar sendiri. Beliau giat belajar bahasa Belanda, bahasa Inggris, dan bahasa Jerman, sehingga akhirnya ia dapat membaca dan mempelajari karya sastra dunia yang ditulis dalam bahasa-bahasa asing itu.
Tiba-tiba kursi di sebelahnya ditarik. Mas Sahid menenteng tiga gelas kopi dingin dan menaruhnya di meja. Barga kenal lelaki gemuk itu. Mas Sahid adalah seorang penyunting naskah yang sudah cukup lama di percetakan ini. Bahkan mungkin Mas Sahid adalah editor naskah pertama di sini.
“Lagi ngomongin Chairil Anwar?” Mas Sahid memulai percakapan. Ia menawarkan kopi tersebut kepada Barga dan Sena.
“Iya nih, Mas Sahid. Barga baru aja lihat naskah cetaknya,” jawab Kak Sena.
“Beliau itu penyair sejati. Hidupnya ya dari uang hasil menulisnya itu.”
“Terus gimana itu, mas?” Barga mengambil satu gelas kopi lalu meminumnya dari sedotan.
“Tahun 1948 mah sempat menjadi redaktur majalah Gema Suasana. Namun, karena merasa tidak puas, beliau mengundurkan diri dari pekerjaan itu. Dia kemudian bekerja sebagai redaktur di majalah Siasat sebagai pengasuh rubrik kebudayaan “Gelanggang” bersama dengan Ida Nasution, Asrul Sani, dan Rivai Apin. Ia merencanakan untuk mendirikan sebuah majalah kebudayaan yang bernama “Air Pasang” dan “Arena”. Namun, rencana itu belum juga terlaksana sampai beliau tutup usia.”
Kak Sena menegakkan punggungnya sebelum menerima gelas kopi dari Mas Sahid. “Sempat ditentang orangtuanya dan orang tua mantan pacarnya kan, ya?” Tanya Perempuan berkacamata itu.
“Betul. Ayahnya bernama Teoloes bin Haji Manan dan Chairil Anwar ini anak lelaki satu-satunya. Pas di Jakarta, bapaknya ini sampai nggak mau ngirim duit kalau beliau nggak mau sekolah. Lalu setelah sukses, Bung Hamka ketemu Pak Teoloes dan bilang kalau anaknya ini sudah jadi penyair terkenal. Banggalah bapaknya. Lalu dulu sempat ditolak sama calon mertua juga-”
Mas Sahid meneguk kopinya sejenak. “Sebelum nikah dengan Bu Hapsah, beliau pernah suka dengan gadis Jawa Timur. Sumirat Namanya. Kemudian ditolak karena pikir orangtua Sumirat, Chairil ini nggak ada duitnya. Kerjanya tidak tetap. Lalu nikah dengan Bu Hapsah, dapat anak cewe yang bernama Evawani Alissa dipanggil Eva. Anaknya itu lahir pada tanggal 17 Juni 1947. Chairil Anwar akhirnya bercerai dengan Hapsah tanpa diketahui sebabnya. Eva dibawa oleh Hapsah.” lanjut Mas Sahid.
“Tapi sayangnya beliau tidak berumur panjang ya, Mas.”
“Iya, Sen. Lepas tiga bulan setelah ayahnya meninggal ditembak mati Belanda, juga lepas perceraiannya dengan Hapsah, kesehatan beliau menurun. Sempat diopname di rumah sakit karena sakit paru-paru. Namun nyawanya tidak tertolong. Beliau akhirnya menghembuskan napas terakhir pada tanggal 28 April 1949. Jenazahnya dimakamkan pada tanggal 29 April 1949 di Pemakaman Umum Karet, Jakarta Selatan.”
“Tapi karyanya tetap abadi,” ucap Barga mantap.
“Betul. Beliau memang gemar membaca dan melakukan riset sastra. Di mana-mana membaca. Bahkan kata istrinya pun, di meja makan saja masih sempat membaca. menerjemahkan sajak-sajak sastrawan asing. Dia menyalin sajak R.M. Rilke (Jerman), H. Marsman (Belanda), E. du Perron (Belanda), dan J. Slauerhoff (Belanda), serta Nietzsche (Jerman). Dia menerjemahkan sajak De Laatste Dag Der Hollanders op Jawa karya Multatuli dengan judul “Hari Akhir Olanda di Jawa”. Dia juga menerjemahkan sajak The Raid karya John Steinbeck (Amerika) dengan judul “Kena Gempur”. Sajak yang berjudul Le Retour de l’enfant prodigue karya Andre’ Gide (Perancis) diterjemahkannya dengan judul “Pulanglah Dia Si Anak Hilang”. Selain itu, Chairil Anwar juga telah menerjemahkan karya John Cornford (Inggris), Hsu Chih Mo (Cina), Conrad Aiken (Amerika), dan W.H. Auden (Amerika). Selama enam setengah tahun sejak tahun 1942–1949, Charil Anwar telah menghasilkan 71 buah sajak asli, 2 buah sajak saduran, 10 sajak terjemahan, enam prosa asli, dan 4 prosa terjemahan.”
Ada hening sejenak sebelum Sena angkat bicara. “Saya ingat kata-kata beliau yang, menulis sebuah sajak tidak dapat sekali jadi. Setiap kata yang ditulis harus digali dan dikorek dengan sedalam-dalamnya. Semua kata harus dipertimbangkan, dipilih, dihapus, dan kadang-kadang dibuang, yang kemudian dikumpulkan lagi dengan wajah baru.”
“Yah, beliau berjasa banyak dalam pembaharuan puisi Indonesia.”
“Banget, Mas Sahid.”
“Nah, Barga juga sama. Bapak-ibumu mungkin memang di jalur sastra. Tapi itu bukan berarti kamu mentah-mentah wajib mengikuti jalan mereka. Menulis itu butuh waktu.”
Barga mengangguk. Ia menatap hard copy naskah biografi Chairil Anwar di tangannya.
“Boleh buatku ya, Kak Sena.”
Sena mengangguk diikuti senyuman Sahid.
“Hidup hanya menunda kekalahan.”
Chairil Anwar (1922-1949)
0 comments on “JALAN” Add yours →