Hubungan antara negara dan agama dalam hal ini Islam menjadi isu yang parenial baik di kalangan ulama, cendikiawan Islam maupun gerakan Islam. Perdebatan perihal hubungan negara dan agama di Indonesia sepertinya akan menjadi perdebatan yang berkepanjangan.
Posisi dan hubungan antara agama Islam dan negara di masa kontemporer ini setidaknya terdiri dari tiga bentuk, diantaranya: pertama, pemisahan antara agama dan politik bahkan disertai oleh ideologi sekuler dimana negara tidak dapat bersahabat dengan agama seperti Turki; kedua, adanya pemisahan namun dengan ideologi yang bersahabat antara negara dan agama seperti Indonesia; ketiga, penyatuan antara negara dan agama atau dapat disebut juga teokrasi seperti di Arab.
Dalam artikel ini kita akan berfokus pada pengalaman bernegara dan beragama yang ada di Indonesia yang tidak menyatukan negara dengan agama sekalipun pemeluk agama Islam memiliki populasi jauh lebih banyak dari agama lainnya. Di Indonesia yang dihuni lebih dari 80% umat beragama Islam juga tidak menjadikan agama Islam sebagai agama resmi.
Sebaliknya, Indonesia berdasar pada lima prinsip yang tertuang dalam Pembukan Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian kita sebut sebagai Pancasila. Pada prinsipnya Indonesia tidak berdasar pada agama namun Indonesia mengakomodasi agam yang ditempatkan dengan sangat terhormat di Sila Pertama yang berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa.”
Selain perdebatan tentang posisi dan hubungan antara agama Islam dan negara yang belum kunjung berakhir, pemikiran dan gerakan menolak demokrasi juga masih ada sampai sekarang. Penolakan tersebut disertai dengan cita-cita mendirikan daulah Islamiyah atau khilafah, entah dalam versi Hizbut Tahrir Indonesia(HTI) atau versi ISIS.
Berdasarkan kerangka Eickelman dan Piscatori, Robert Hefner, antropolog Boston University, yang saat ini memberikan banyak perhatiannya pada hubungan antara Islam madani (civil Islam) dengan demokrasi di Indonesia berargumen bahwa tidak ada politik Islam/Muslim yang tinggal sehingga memunculkan pola yang mencakup seluruh peradaban Islam. Sebaliknya, yang ada hanyalah beberapa partai, organisasi, kelompok dan cita politik Islma yang tidak jarang terlibat dalam kompetisi tajam di antara mereka sendiri.
Kemunculan parpol Islam, lembaga atau kelompok-kelompok dipandang sebagai sebuah representasi atas pertarungan pemaknaan terhadap Islam yang belum berhenti dan akan terus berlanjut. Tidak adanya otoritas dam hegemoni tunggal dalam pemaknaan Islam sejak kedatangan dan awal penyebarannya di Indonesia menambah kuatnya pluralitas pemaknaan Islam di Indonesia. Kenyataan ini menjadi esensi perdebatan, perbedaan, skisma, tarik menarik dan bahkan konflik di antara pemaknaan, misalnya, tentang apa yang dimaksud dengan parpol Islam, organisasi Islam serta kelompok Islam yang sekaligus menjadi representasi umat Islam.
Keberadaan indikasi dan gejala ini , para pengamat yang ceroboh secara simplisit akan cenderung bersikap skeptis terhadap hubungan antara Islam dengan demokrasi. Kalangan pengamat seperti ini juga cenderung sweeping generalization, sehingga menghasilkan kesimpulan yang jauh dari akurat. Hal ini karena kalangan skeptis tidak mengkaji lebih dalam dan lebih cermat tentang indikasi dan realitas keagamaan dan sosio-politik arus utama kaum muslimin Indonesia secara luas dan komprehensif.
Ini adalah tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam konsolidasi demokrasi lebih lanjut, bagaimana memperkuat negara kita, di saat bersamaan juga memberdayakan masyarakat madani dan memperkuat kembali ekonomi. Ketidakefektivan negara dalam melindungi warganya dengan komitmen yang genuine kepada law of rule bukan hanya dapat melumpuhkan masyarakat yang madani, tetapi juga dapat mendorong banyak kelompok dalam masyarakar untuk take the law into their own hands. Demokrasi hanya akan tumbuh dan terjamin, jika penegakan hukum berjalan. Pada sisi yang lain, secara simultan pemulihan dan penguatan ekonomi juga instrumental untuk terwujudnya demokrasi.
Sumber:
Azra, Azyumardi. Islam dan Konsep Negara; Pergulatan Politik Indonesia Pasca-Soeharto dalam Fikih Kebinekaan. Jakarta: Maarif Institute for Culture and Humanity. 2015.
0 comments on “Indonesia, Islam dan Demokrasi” Add yours →