Memasuki 10 hari kedua bulan Ramadan drama perpolitikan dalam negeri pasca pemilihan calon presiden dan calon wakil presiden Republik Indonesia belum terlihat reda. Di tengah-tengah ketegangan ini para elit politik yang diharapkan mampu meredam keresahan masyarakat justru memprovokatori masyarakat untuk membela mati-matian teman koalisinya dan membenci buta lawan politiknya.
Panasnya perhelatan para elit yang dipublikasikan di sosial media memancing emosional masyarakat sehingga menyebabkan konflik horizontal di masyarakat antara pendukung kubu yang satu dengan kubu yang lainnya. Meski perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang dapat menciptakan ketegangan, seharusnya dapat diredam mengingat bahwa momen politik ini juga terjadi di bulan Ramadan dimana seharusnya setiap orang berbondong-bondong memperbanyak amalan.
Mirisnya, ketidakdewasaan menciptakan banyak hinaan, cacian, makian, hingga ancaman yang membuat kegaduhan dan ketidaktenangan. Kata “Jihad” sering kali dilontarkan dengan dalih melawan kecurangan. Yang membuat hati teriris adalah bahwa jihad ini diartikan sebagai peperangan oleh segelintir oknum dimana mereka siap mati demi membela sang junjungan. Padahal semua sudah ada prosedurnya, dimana setiap kecurangan bisa dilaporkan dengan barang bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kegaduhan yang timbul ditengah masyarakat ini juga dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal untuk mencederai proses krusial demokrasi Indonesia. Isu perkumpulan masa menuntut keadilan pemilu menjadi momentum bagi kelompok radikal untuk mengadu domba masyarakat dan pemerintah Indonesia dengan berencana meledakkan bom di tanggal 22. Hal ini terbukti dengan tertangkapnya paling tidak 31 terduga teroris beserta barang buktinya yang diduga akan meledakkan bom di tengah kerumunan masa di Jakarta.
Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia semestinya mampu menjadi contoh bagi umat muslim di belahan dunia lainnya bahwa di tengah banyaknya berbeda kita tetap saling menghargai dan menghormati sesama manusia. Ramadan semestinya dijadikan momentum penting dalam merajut kembali persatuan dan persaudaraan. Sebab Ramadan merupakan syahrur-rahmah, yakni bulan kasih sayang dimana kasih tidak mengenal sekat perbedaan pandangan, ideologi, pilihan partai, suku, bahasa dan agama.
Perhelatan politik seharusnya dijadikan sebagai sebuah proses pendewasaan, sampai sejauh mana kita mampu menjaga persaudaraan di tengah banyaknya perbedaan dan kepentingan. Sebab yang kita inginkan adalah kemenangan bersama, bukan hanya menjadi kemenangan bagi segelintir kelompok saja.
Pada akhirnya siapapun yang menjadi presidennya yang harus tetap kita perjuangkan bersama adalah sila ketiga, Persatuan Indonesia. Mari kita lapangkan dada, perbanyak ibadah untuk mendapatkan Ridha yang Maha Kuasa dan jangan mau diadu domba.
Sebab aku,
Kamu,
Kita,
Selamanya akan tetap Indonesia.
Aku,
Kamu,
Kita,
Akan tetap berjuang untuk kemajuan Indonesia terlepas dari siapapun presidennya.
Penulis : Annisa Fathia Hana
Gambar : pixabay.com
0 comments on “Pilih Satu atau Dua yang Penting Tiga : Persatuan Indonesia” Add yours →