Pernahkah kamu bersama teman melakukan libur akhir pekan di luar kota. Berjalan-jalan di destinasi wisata, kemudian bersantai sambil mengambil potret kenangan guna di upload ke Instagram. Tak lupa mengisi perut yang sudah kelaparan akibat tenaga yang sudah banyak tersita. Akhirnya, kalian mendiskusikan santapan makan siang yang enak dengan harga yang masih relevan untuk kaum wisatawan lokal. Ide-ide menu dan tempat makan pun dilontarkan. Kamu merekomendasikan makanan khas kota tersebut. Cita rasa baru nusantara akan menjadi oleh-oleh tak terlupakan ketika kembali pulang. Tapi tunggu, rupanya temanmu yang lain menghendaki fast food alias makanan cepat saji. Kamu lupa bahwa temanmu penganut makanan praktis, higienis, eknomis. Katanya fast food lebih cepat dihidangkan, tempatnya nyaman, harganya murah meriah ketimbang makanan lokal setempat. Identitas wisatawan terkadang membuat penjual makanan lokal mematok harga lebih tinggi. Pengolahan yang kurang higienis turut menambah keyakinan mereka untuk membeli fast food saja.
Sedikit stimulus diatas menggambarkan segregasi makanan lokal khas nusantara akibat dampak globalisasi. Era globalisasi membentuk manusia kepada kehidupan yang serba cepat dan praktis. Bukan seni bukan juga budaya, melainkan makanan menjadi unit yang ikut terbawa pada arus globalisasi. Fast food adalah makanan yang tidak memerlukan waktu lama untuk penyajiannya. Fast food identik dengan kandungan lemak, kalori, dan gula yang tinggi. Contohnya pizza, burger, fried chicken, dll. Kendati begitu, restoran fast food di Indonesia tidak pernah sepi pelanggan. Seolah menjadi fakta dalam basis budaya makanan baru masyarakat Indonesia. Apakah memang fast food menjadi trend makanan modern masa kini?
Think Globally, Eat Locally!
Sebuah ungkapan yang mungkin terkesan mainstream, kali ini dikaitkan dengan makanan. “Think globally, eat locally!”. Kehadiran restoran fast food yang masif tidak dapat kita hindari. Dampak globalisasi ini membuka gerbang makanan luar apa saja memasuki regional Indonesia. Seperti sisi dua mata uang, fast food memang tidak seutuhnya menjadi malapetaka eksistensi makanan lokal. Ketika wisatawan asing berkunjung menikmati destinasi Indonesia, pada waktunya mereka akan memilih makanan yang sesuai dengan selera mereka. Bukan hal tentu di suatu kesempatan mereka mencicipi makanan khas Indonesia. Namun, umumnya para turis asing akan mencari restoran fast food yang telah akrab dengan lidah mereka.
Disinilah tantangan kaum milenial. Bagaimana mempromosikan makanan khas lokal agar tidak kehilangan identitasnya bahkan di negara sendiri? Jangan sampai makanan lokal khas nusantara di masa yang mendatang tertinggal nama beserta gambarnya saja. Seperti poster pakaian adat yang ditempel di dinding kelas sekolah dasar.
Modernisasi Makanan Lokal
Bukan dengan mengubah resep makanan akan tetapi memodernisasi makanan lokal melalui ajang promosinya. Makanan lokal memiliki potensi besar yang dapat bersaing dengan fast food. Kita dapat melakukan promosi dengan ikut menjual “cerita dibalik” terciptanya satu menu makanan. Contoh rabeg, makanan khas Banten ini dibuat untuk mengobati kerinduan Raja Sultan Maulana Hasanudin pada kota Rabiq. Kota indah yang sempat disinggahi raja saat menunaikan ibadah haji. Alternatif lain yaitu makanan lokal yang dijajakan saat pertunjukan budaya yang memungkinkan siapa saja untuk membeli. Apalagi bila disajikan dengan bersih, harga bersahabat dan story makanan itu sendiri. Baik wisatawan lokal maupun asing akan melirik dan mempromosikannya kembali kepada teman sejawat. Terobosan baru lainnya, iklan sebuah rumah makan lokal yang ditayangkan pada televisi. Dengan begitu, tidak hanya fast food saja yang menarik perhatian calon konsumen penonton TV tetapi juga makanan lokal. Bayangkan apabila makanan lokal ditayangkan pada iklan televisi dengan kearifan budaya Indonesia. Sungguh suatu hal baru yang patut dicoba.
Jadi, apakah kamu sudah siap menjadi brand ambassador makanan lokal nusantara?
Mari ciptakan trend makanan lokal di negara sendiri.
Sumber:
AP Ardanari. Globalisasi: Fast food, ya atau tidak?. 2016.
Soldier Tourism. Gastronomi dan Globalisasi. 2019.
Liana, Santia. Hubungan Intensitas Menonton Iklan Makanan Di Televisi Dengan Perilaku Konsumsi Makanan Cepat Saji Siswa SMK Panca Budi 2 Medan. 2016.
TS Livia. Gambaran Perilaku Mengkonsumsi Fastfood pada remaja di SMA Negeri 3 Padang. 2016
Penulis: Rifa Qutratunisa
0 comments on “Fast Food Trend Makanan Modern Masa Kini?” Add yours →