Saat ini dunia tengah diguncang oleh kehawatiran karena adanya suatu virus yakni Corona atau Covid-19, virus yang kecil namun mampu membunuh ratusaan ribu orang di berbagai belahan dunia. Munculnya virus Covid-19 ini menjadi duka bagi seluruh dunia, karena telah menyebar hampir ke seluruh dunia dan Indonesia salah satunya.
Masalah lain yang timbul karena Covid-19 adalah banyaknya pekerja yang di PHK, serta para pekerja yang di rumahkan dan pekerja serabutan yang kehilangan mata pencaharian seperti ojek online, pedagang dll terlebih setelah di berlakukannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di beberapa daerah. Sehingga masa pandemi ini menjadi masa yang sangat tepat untuk merajut kebersamaan, toleransi, tolong menolong antar umat beda agama dan kepercayaan, tanpa mempertanyakan apa suku dan kebudayaan mereka tetapi atas nama kemanusiaan dalam memerangi virus Covid-19.
Budaya gotong-royong, yang merupakan ciri khas masyarakat kita sangat terlihat dalam menghadapi pandemi Covid-19 saat ini. Ketika beberapa tahun terakhir kebhinekaan kita sedang diuji dengan tindakan sekelompok orang yang melakukan tindak intoleransi, maka diera pandemi ini suasana kebekuan komunikasi seketika mencair, setidaknya terlihat di permukaan. Berita-berita pada media mainstream dan postingan-postingan media sosial sementara terlihat tenggelam. Tulisan-tulisan provokasi dan ujaran kebencian terhadap kelompok lain juga menurun. Semua orang sibuk membahas prediksi kapan pandemi akan berakhir.
Akan tetapi dilain sisi. Sikap intoleransi sempat tejadi di awal munculnya pandemi Covid-19. Dibeberapa daerah orang yang dinyatakan positif Covid-19 mendapatkan hukuman sosial seperti pengasingan dan pengucilan oleh masyarakat.
Dikutip dari Kompas.com (30/6/2020) Seorang warga dikucilkan karena berstatus pasien positif Covid-19 pernah dialami oleh F, warga sebuah desa di Kecamatan Larangan, Pamekasan. Tidak hanya F, seluruh keluarganya juga ikut dikucilkan. Para tetangga yang biasa berkunjung ke rumahnya, sejak F ditetapkan terpapar Covid-19, sudah tidak pernah berkunjung lagi. Ia kemudian menjalani isolasi di rumah sakit selama 16 hari. Pada saat menjalani isolasi, F merasakan bagaimana ia dijauhi oleh rekan-rekan. Bahkan, tetangganya sendiri. Menurut F, isti dan anak-anak mereka juga menjadi perbincangan warga. “Kalau ada orang sakit, biasanya tetangga menjenguk. Namun, berbeda dengan yang dialami keluarga saya. Keluarga saya dijauhi seperti orang yang dikucilkan,” terang F. Bagi pria yang juga petugas haji ini, goncangan secara psikologis sangat dirasakan oleh keluarganya yang menjalani isolasi mandiri di rumahnya. Untuk pergi berbelanja saja ketakutan karena distigma keluarga Covid-19.
Melihat pemberitaan tersebut, tentunya sangat disayangkan. Ketika tengah berjuang melawan pandemi, masih saja ada kejadian intoleransi. Masyarakat harus bisa meningkatkan toleransi di tengah pandemi, seperti tidak memberikan stigma kepada pasien yang positif Covid-19, terhadap keluarga maupun kerabatnya melainkan memberikan suport dan menghindarkan pasien Covid-19 dari hukuman sosial seperti pengasingan dan pengucilan oleh masyarakat.
0 comments on “Toleransi di Tengah Pandemi” Add yours →