Secara etimologis dakwah merupakan masdar dari kata da’a-yad’uu-da’watan yang artinya “menyeru” atau “mengajak”. Secara terminologis dakwah dapat diartikan mengajak manusia untuk menjalankan kehidupan ini di jalan Allah SWT sesuai dengan apa yang tertulis pada Surat An-Nahl ayat 125. Penyampaian dakwah keagamaan yang dilakukan di mimbar sering kita jumpai dalam momentum-momentum tertentu yang dihadiri oleh banyak orang seperti shalat Jum’at, shalat ied, maupun kegiatan keagamaan yang lain seperti Isra Mi’raj, Maulid mapun pengajian rutin.
Pada dasarnya, dakwah keagamaan memiliki esensi untuk mengajak orang lain untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dakwah agama hadir untuk menyebarkan seruan amar ma’ruf dan nahi munkar yakni mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran dalam kehidupan. Namun perlu juga disadari bahwa ruang dakwah adalah ruang realitas bukan ruang hampa di mana di dalamnya banyak dihadiri oleh banyak orang yang berasal dari berbagai latar belakang baik suku, ras, etnis, golongan maupun pandangan politik.
Pendakwah sebagai orang yang dianggap mampu memberikan pengaruh kepada umat beragama melalui dakwahnya perlu memahami ajaran agama secara mendalam sehingga pendakwah mampu menyampaikan suatu kebenaran dalam ajaran agama dan korelasinya dengan realitas kehidupan.
Dalam konteks dakwah di Indonesia yang pada dasarnya adalah negara yang majemuk, pendakwah pelu penyadari bahwa ada hal-hal yang dalam sudut pandang agama memang perlu disampaikan namun menjadi hal yang sensitif jika dilihat dari sudut pandang kebangsaan, sehingga perlu penggunaan diksi yang tepat dalam menyampaikan kebenaran agama agar tidak menimbulkan ketersinggungan.
Jika dilihat dari sudut pandang keyakinan, pendakwah memiliki peran untuk meyakinkan bahwa apa yang kita anut adalah suatu kebenaran mutlak. Hal ini tentu merupakan sebuah kewajaran dimana memang umat beragama harus meyakini ajaran agamanya dengan sepenuh hati tanpa keraguan. Namun dalam sudut pandang kebangsaan, kita perlu menyadari bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam agama dimana setiap umat beragama memiliki keyakinan mutlaknya masing-masing.
Dalam banyak kasus intoleransi di Indonesia, banyak diantaranya disebabkan oleh ceramah agama yang menjurus kepada penyebaran kebencian bahkan penistaan kepada agama lain sebagai bentuk penyampaian “kebenaran” agama. Tidak dapat dipungkiri bahwa hal-hal seperti ini menimbulkan gesekan dan ketegangan diantara umat beragama di Indonesia.
Toleransi dalam kehidupan beragama sangat dibutuhkan oleh bangsa yang majemuk seperti Indonesia. Toleransi sering kali disalahartikan oleh sekelompok masyarakat dimana toleransi dianggap membenarkan semua ajaran agama, sehingga hal ini dianggap sebagai sebuah penyekutuan Tuhan. Padahal dalam konteks ini toleransi adalah upaya untuk menghargai keyakinan yang dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak dalam suatu ajaran agama, sama seperti kita ingin keyakinan kita akan suatu kebenaran mutlak dihargai oleh orang lain yang memiliki keyakinan yang berbeda.
Menangkal Ujaran Kebencian di Mimbar Dakwah
Ujaran kebencian atau penistaan terhadap agama lain dalam menyampaikan kebenaran agama tentu tidak dibenarkan. Dalam buku “Menggagas Fiqh Ikhtilaf” dijelaskan bahwa Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin dalam hal menjaga kerukunan umat beragama menyampaikan seruan bahwa dakwah keagamaan setidaknya memenuhi hal-hal sebagai berikut:
Pertama, ceramah agama disampaikan oleh pendakwah yang memiliki komitmen atas tujuan diturunkannya agama yakni untuk menjaga martabat dan menjaga keberlangsungan hidup umat manusia.
Kedua, materi dakwah yang disampaikan harus berdasarkan pada pengetahuan agama secara mendalam yang berasal dari sumber pokok ajaran agama.
Ketiga, dakwah disampaikan dalam kalimat yang santun dan dalam taraf kepantasan, tidak mengandung umpatan dan ujaran kebencian, tidak memaki, melecehkan menistakan agama dimana hal ini tentu dilarang dalam ajaran agama manapun.
Keempat, dakwah sepatutnya berisi ajaran atas nilai-nilai yang mendidik dan memberikan pencerahan secara spiritual, intelektual dan emosional pendengar sehingga apa yang disampaikan mampu meningkatkan keimanan seseorang atas ajaran agamanya.
Kelima, materi dakwah hendaknya berisikan motivasi, nasihat, dan ajaran yang mengarah pada kebaikan, peningkatan kapasitas diri, penyempurnan akhlak, pemberdayaan umat, peningkatan kualitas ibadah, serta persatuan dan kesatuan dalam kehidupan.
Keenam, materi yang disampaikan tidak bertentangan dengan empat pilar bangsa Indonesia. Ketujuh, dakwah yang disampaikan tidak mempertentangkan SARA yang dianggap sensitif dan dapat menimbulkan ketegangan, mengganggu kerukunan dan hingga menimbulkan konflik.
Penulis : Annisa F (Jawara Duta Damai)
0 comments on “Pentingnya Dakwah Santun untuk Menjaga Kerukunan” Add yours →