Smartphone saat ini sudah menjadi salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia terutama bagi para millennial. Sejak kemunculannya beberapa tahun terakhir smartphone menjadi barang yang hampir tidak pernah lepas dari kehidupan. Terlebih semakin hari produsen smartphone semakin berinovasi untuk menciptakan fitur-fitur baru yang sesuai dengan kebutuhan pasar.
Ditunjang dengan semakin cepatnya jaringan internet, smartphone semakin menjadi candu bagi penggunanya. Semua menjadi praktis hanya dalam satu genggaman. Akses informasi, komunikasi, hingga berbelanja kebutuhan hidup kini bisa didapatkan dengan satu perangkat saja.
Data APJII menyebutkan bahwa penggunaan internet di Indonesia mencapai 54,7% dari total jumlah penduduk di Indonesia atau total penggunanya sekitar 143,26 juta jiwa. Angka yang cukup fantastis jika semuanya berkontribusi untuk memberikan kicauan di sosial media.
Kecepatan arus informasi dan komunikasi di sosial media pada era ini menggeser sebuah konstruksi sosial di sosial media dimana fakta dan data tidak selalu menjadi rujukan dalam membentuk opini publik, bahkan cenderung bersaing dengan kicauan personal hingga hoax yang bertebaran di sosial media. Pergeseran konstruksi sosial ini banyak digunakan oleh berbagai golongan untuk menggiring opini yang menguntungkan mereka kepada masyarakat. Fenomena ini dikenal dengan post-truth yang sudah mulai dikenal tahun 90-an namun mulai eksis digunakan ditahun 2000an dan booming di tahun 2016.
Informasi yang dinarasikan berulang-ulang secara massive dan konsisten tentunya akan mempengaruhi psikologis konsumen informasi tersebut sehingga informasi yang dikonsumsi dianggap sebagai suatu kebenaran. Berbagai sosial media biasanya akan terus memunculkan konten-konten serupa dengan konten yang dikonsumsi secara intensif oleh para penggunanya.
Sayangnya, penggiringan opini publik tidak selalu mengarah pada hal-hal positif. Belakangan ini penggiringan opini justru lebih menjurus pada penyebaran kebencian hingga perpecahan. Konten-konten hoax sering kali bertebaran di sosial media hingga mempengaruhi emosional pengguna, sehingga informasi pembanding akan sulit dipercaya.
Hal ini menjadi tantangan besar bagi Indonesia. Pasalnya opini yang di bangun di sosial media sering kali mempengaruhi kehidupan di dunia nyata. Sehingga propoganda dapat mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Peluang Post-Truth
Selain tantangan nyata, besarnya pengguna internet di Indonesia tentu juga sebenarnya menjadi peluang untuk mempererat persatuan jika saja fenomena perubahan konstruksi sosial di sosial media dimanfaatkan dengan bijaksana.
Di sosial media twitter, meski propoganda sering mewarnai beranda dan trending, namun fakta unik menunjukkan bahwa pada dasarnya pengguna internet di Indonesia memiliki kepedulian tinggi terhadap sesama. Kalimat Twitter, Please Do Your Magic yang sering kali diangkat untuk mencari perhatian netizen terkait isu kemiskinan, kesehatan, pendidikan, lingkungan dll.
Misalnya, sebuah tweet yang diposting oleh akun @zarryhandrik pada 23 Juni 2019 yang isinya foto seorang bapak tukang pijat panggilan yang sedang berjuang mencari uang untuk pengobatan istrinya yang harus operasi tumor payudara. Dengan kecepatan arus informasi, netizen tergerak hatinya untuk membantu biaya operasi istri dari bapak tersebut.
Hal ini menjadi kabar baik, sebab yang menjadi sorotan di sosial media tidak selalu hal-hal buruk berbau propoganda. Pengguna internet di Indonesia justru sebenarnya cenderung lebih banyak merespon isu-isu yang menyentuh emosional dan diterima oleh logika mereka. Apa yang digiring, itu juga yang akan direspon.
Maka konten-konten kebaikan, kepedulian terhadap sesama, persatuan dan konten-konten positif lainnya yang meluluhkan hati perlu untuk digaungkan agar mendapatkan perhatian pengguna sosial media. Sehingga ruang maya kita dipenuhi konten-konten yang enak dipandang mata, enak dibaca dan menyejukkan jiwa. Dan sudah menjadi hal yang pasti hal ini akan berpengaruh pada kehidupan nyata kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Penulis : Annisa Fathia Hana
0 comments on “Post-truth: Tantangan dan Peluang” Add yours →