free page hit counter

(Lagi-lagi) Terhimpit Sawit: Deforestasi dan Penyingkiran Adat di Tanah Papua

Dari Rafah, Palestina hingga Papua di Indonesia. Demikian beberapa waktu belakangan, setidaknya sejak minggu terakhir di bulan Mei 2024, masyarakat digital aktif menggaungkan tagar untuk membangun solidaritas dan keprihatinan. Terinspirasi dari #AllEyesonRafah, kini lahirlah #AllEyesonPapua yang berdiri pada konteks permasalahan di Indonesia.

Kedua tagar tersebut memiliki tujuan yang sama, yakni memberikan pesan dan keprihatinan atas peristiwa penindasan dan ketidakadilan. #AllEyesonRafah menjadi pesan bagi masyarakat global atas serangan Israel ke kota Rafah hingga menewaskan puluhan pengungsi. Sementara #AllEyesonPapua digaungkan untuk melihat permasalahan yang tengah terjadi di Papua, terutama terkait ancaman deforestasi.

Seruan keprihatinan atas Papua ini tidak lepas dari gelaran aksi bersama yang dilakukan oleh perwakilan masyarakat adat suku Moi dari Boven Digoel, Papua Selatan dan masyarakat adat suku Awyu di depan Gedung Mahkamah Agung (MA), Jakarta. Aksi yang dilangsungkan pada Senin (27/5/2024) tersebut diiringi dengan penggunaan busana khas suku masing-masing, doa, dan ritual adat.

Jauh-jauh dari Tanah Papua, kelompok masyarakat tersebut mengunjungi Ibu Kota dengan dua tujuan besar: meminta MA menjatuhkan putusan hukum dan membatalkan izin perusahaan sawit yang tengah mereka lawan. Perusahaan sawit, berikut juga dengan izin konsensinya, menjadi musuh utama masyarakat adat Papua saat ini.

Keluhan parau masyarakat adat Papua tidak lepas dari rentetan peristiwa yang sebelumnya terjadi. Keputusan pengadilan dan kebijakkan oleh negara terus menyingkirkan kehadiran mereka dan mengancam kemurnian hutan-hutan Papua.

Apa yang Tengah Terjadi? – Masyarakat Awyu

Permasalahan bermula dari pemerintah provinsi yang mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT IAL yang mengantongi izin konsensi lingkungan seluas 36.094 hektar. Melalui izin ini, PT IAL dapat melakukan penebangan dan pembabatan lahan untuk menjadikannya komoditas industri mereka. Padahal, sebagian luasan lahan tersebut berada di wilayah hutan adat suku Awyu.

Masyarakat adat pun mengajukan gugatan––namun langsung kandas bahkan di pengadilan tingkat pertama dan kedua. Oleh karena itu, suku Awyu kini mengajukan permohonan kasasi kepada MA untuk dapat mengabulkan kasasi mereka. Dikabulkannya kasasi dapat memulihkan harkat masyarakat adat yang telah dirampas sekaligus menjaga hutan Papua.

Tak sampai di situ, masyarakat Awyu juga tengah dihadapkan pada ancaman pembangunan perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia melalui Proyek Tanah Merah. Mega-proyek ini akan dioperasikan oleh tujuh korporasi sekaligus, termasuk dua di antaranya adalah PT KCP dan PT MJR.

Padahal, investigasi Gecko Project menemukan bahwa operasi Proyek Tanah Merah jelas mampu menghancurkan hutan Papua dengan masifnya permasalahan, seperti tidak memiliki dokumen analisis dampak lingkungan (amdal), ada pemalsuan tanda tangan pejabat, hingga tidak adanya negosiasi dengan masyarakat lokal.

Oleh karenanya, selain kasasi perkara PT IAL, masyarakat Awyu juga tengah mengajukan kasasi atas gugatan terhadap dua nama perusahaan yang disebutkan belakangan. Sebelumnya, keduanya sudah kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Putusan PTUN ini mampu menyelamatkan hingga 65.415 hektar hutan dari konsesi PT MJR dan PT KCP. Bahkan, keduanya diwajibkan menghentikan kegiatan deforestasi dan tidak memperluas areal usaha perkebunan, kecuali pada lahan perkebunan yang sudah ada seluas 8.828 hektar.

Tidak terima dengan putusan tersebut, PT MJR dan PT KCP lantas mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta. Hasilnya? Kedua perusahaan tersebut menang, dan putusan PTUN dicabut.

Apa yang Tengah Terjadi? – Masyarakat Moi

Di saat bersamaan, suku Moi saat ini tengah melawan PT SAS yang akan membabat 18.160 hektar hutan adat untuk (lagi-lagi) perkebunan sawit. Setelah sebelumnya memegang izin lahan seluas 40.000 hektar di Kabupaten Sorong, pada tahun 2022 pemerintah pusat sempat mencabut izin PT SAS tersebut.

Pencabutan ini direspon oleh para korporat tersebut dengan menggugat melalui PTUN Jakarta. Dari sini, perwakilan masyarakat adat Moi lantas melawan dengan mengajukan diri sebagai tergugat intervensi di PTUN Jakarta pada Desember 2023. Setelah hakim menolak gugatan itu pada awal Januari 2024, kini masyarakat kembali mengajukan kasasi secara resmi melalui MA pada 3 Mei 2024.

Keberpihakkan Negara?

Praktik penyingkiran––tidak saja terhadap hutan dan segala sumber dayanya, namun juga terhadap manusia-manusia hidup yang bernafas di dalamnya setelah sekian lama generasi adat––terus terjadi terhadap rimba-rimba di Papua.

Perambahan terus terjadi. Kayu-kayu dari pulau ujung timur tersebut menjadi incaran penduduk kota dan korporat untuk mendapat keuntungan sesaat. Lahannya yang sudah telanjang lantas ditanami perkebunan dan tak jarang memicu konflik. Dalam konteks ini, harga sawit menjadi lebih mahal daripada nyawa dan martabat manusia adat.

Mengacu pada Kompas.id (4/6/2024), total luas hutan di Papua mencapai 34 juta hektar. Dari jumlah tersebut, negara hanya memberikan kawasan hak pengusahaan hutan (HPH) yang dikelola masyarakat adat di Papua seluas 78.040 hektar. Jumlah ini bahkan tak mencapai setengah persen, atau hanya sebesar 0,23 persen, dari total luasan hutan yang ada.

Angka ini begitu timpang dengan HPH yang diberikan negara untuk korporasi. Besarannya mencapai luas 5,5 juta hektar, atau setara dengan 16 persen dari total luasan hutan.

Tren ketimpangan ini bahkan berpotensi untuk terus berlanjut tanpa adanya transformasi kelembagaan untuk memastikan optimalnya pelayanan publik terhadap masyarakat adat di Papua. Apalagi, proses birokrasi untuk pengajuan mengelola hutan adat oleh masyarakat begitu rumit dan panjang.

Akhirnya, hingga titik ini, sebagai sesama manusia yang hidup dalam kemewahan kota dan akses atas pengetahuan, pantaslah muncul pertanyaan, “kepada siapa negara berpihak?”. Lebih lanjut, pertanyaan tersebut dapat mengalir pada refleksi diri, “apa hal baik yang dapat saya perbuat?”.

 

 

Referensi

 

Kompas. 2024. “All Eyes on Papua”, Bagaimana Kisah Suku Awyu dan Moi Selamatkan Hutannya?. Kompas.id. Diambil dari https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/06/04/mengapa-suku-awyu-dan-moi-penjaga-hutan-papua-menggugat-ke-ma?open_from=Baca_Nanti_Page

 

Kompas. 2024. “Sasi”, Usaha Warga di Papua Lindungi Kekayaan Alamnya. Kompas.id. Diambil dari https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/06/03/sasi-usaha-suku-suku-di-papua-lindungi-kekayaan-alamnya

Penulisan: Josef Christofer Benedict

0 comments on “(Lagi-lagi) Terhimpit Sawit: Deforestasi dan Penyingkiran Adat di Tanah PapuaAdd yours →

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *