Ada seorang lelaki yang saat dulu sekali, ketika ibumu melakukan tes kehamilan di pagi hari, ia menagis bahagia di dalam hatinya. Senyumnya terukir tipis melihat dua garis pada sebuah batang menandakan kamu hadir di sana. Di rahim ibumu. Kemudian pada bulan-bulan berikutnya, lelaki itu menemani ibumu mengecek ke bidan seraya melafadzkan Alhamdulillah saat gema detak jantungmu terdengar lewat alat yang disebut doppler.
Lelaki itu pontang-panting, kepala jadi kaki—kaki jadi kepala. Ketika beliau tahu hari taksiran persalinan ibumu semakin dekat. Di dalam pikirannya, bagaimana agar istri dan anaknya bisa cukup biaya dan selamat, sehat semua. Disisihkannya beberapa pundi rupiah membeli keperluanmu dan ibumu, sebagian besarnya ditabung untuk biaya persalinan yang tentu tidak murah.
Lalu, saat ibumu bersalin dibantu bidan, lelaki itu komat-kamit melayangkan doa ke udara agar Tuhan senantiasa membantu kelancaran kelahiranmu. Hingga kau akhirnya lahir ke dunia. Utuh, sehat, menangis kuat dengan warna kulit kemerahan. Lelaki itu menitikkan air mata bahagianya. Selamat datang anakku, ucapnya lembut.
Setelah membasuh wajah dengan wudhu, ia kembali mendekati ranjang kecilmu dan melantunkan adzan sebagai irama yang pertama kali kau dengar di dunia ini. Dalam hatinya, ia selip doa-doa kecil agar kau tumbuh menjadi anak yang berbakti dan dapat dibanggakan. Ibumu melihatnya dari kejauhan. Ruangan bersalin itu mendadak penuh haru.
Hari beganti, bulan berganti bulan. Di setiap lenggang malam yang panjang, ia menemani ibumu bergadang karenamu. Menghangatkan botol susumu, menarik selimutmu, menimangmu seraya berkata “tidur yuk, sayang”. Padahal besok pagi beliau bekerja, tetapi masih mau direpotkan karenamu. Semua hanya karena satu hal, kamu buah hatinya.
Kemudian kamu tumbuh semakin besar. Langkah kakimu yang kecil itu dituntunnya dengan sabar. Makanmu yang sering dilepeh itu dibersihkannya. Tubuh mungilmu yang dibalut seragam TK itu dipotretnya dan dijadikan kenangan dalam bingkai yang dicetak. Semakin giat kerjanya sebab kebutuhanmu pun semakin banyak. Namun, saat kau meminta mainan pun tetap diturutinya. Padahal ongkosnya ke kantor tinggal setengah.
Kamu mengatakan beliau adalah cinta pertamamu. Sedang sebagian dari kamu mengatakan ia adalah superhero yang jadi panutanmu. Kau peluk erat tubuhnya saat ia memboncengmu dengan motor Supra hasil kredit yang baru saja lunas. Berkeliling kota di minggu pagi sambil bercerita tentang apa saja. Tentang bintang yang banyak di langit, tentang air laut yang asin, atau tentang ia dan ibumu dulu. Saat kau menangis, ia redam dengan sahutan hangat “anak ayah pinter jangan menangis, ya?”.
Ada hari dimana kamu sangat kesal padanya. Entah karena ia menolak memberikan apa yang kau mau atau sekedar kesal karena ia tak menjemputmu tepat waktu. Kau kesal, kau marah padanya. Seolah dia lelaki yang paling bersalah selama ini. Tetapi tak apa, ia masih saja bersimpuh mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh kecilmu dan meminta maaf. Memelas sedikit rasa pengertianmu agar mau bersabar. Akhirnya kau luluh. Sorot mata teduh yang nampak kelelahan itu menjinakkan egomu.
Namun sayangnya, waktu berjalan cepat tanpa kita sadari. Kau tumbuh semakin besar dan bertemu dengan fase pubertasmu. Hal yang sangat membuatmu berubah. Kau semakin irit bicara, menjaga jarak dan punya duniamu sendiri. Ayah yang dulu superhero kini jadi orang yang banyak kau tanyai pendapat. Tentang mengambil keputusan yang kau bingungkan, atau tentang menilai kekasih hatimu. Duduk berdua ditemani kopi dan pisang goreng buatan ibu. Membicarakan kehidupan remaja yang mulai berat.
Di kala itu, banyak kau temui perbedaan-perbedaan pendapatmu dengannya yang membuatmu kesal. Berpikir kenapa ayah yang dulu mengajakmu jalan-jalan di subuh hari dengan motor Supra berubah menjadi orang yang menentang ide dan gagasanmu. Kau merasa paling benar dengan apa yang kau pahami saat itu. Kau dan jiwa idealismu, yang sering dipatahkan oleh lelaki itu dengan kalimat, “percaya sama ayah, ayah udah ngalamin itu.”
Kamu merasa orangtua, terutama ayahmu yang memang perangainya sedikit lebih keras dari ibumu, seperti orangtua kolot yang tak tahu perkembangan jaman. Tubuhnya yang semakin tua dan rambut yang mulai putih itu kadang kau lawan dengan bentakkan-bentakkan yang tanpa kau sadari keluar dari mulutmu yang saat kecil dulu ia bersihkan dari sisa bubur bayi. Kau merasa terlalu banyak aturan yang ia buat dan mengekangmu. Kau merasa ia terlalu banyak ambil alih hingga kau merasa tak bebas.
Tetapi, setiap malam selepas ibadahnya, ia mendoakanmu tanpa bilang. Di tiap langkahnya menuju kantor ada wajahmu yang terbayang. Walau kau menyakiti hatinya dengan perkataanmu yang sok dewasa itu. Walau kau membangkang dan tak menuruti aturan yang padahal, sengaja ia buat agar kau aman. Agar kau, anak kesayangannya selalu dalam pantauannya. Sebab, dunia ini kejam. Kejam sekali sampai kau akan berharap kau kembali ke masa anak-anak dimana ayahmu masih mau mengantre membelikanmu gulali kapas.
Laki-laki itupun sejatinya adalah manusia yang tak luput dari salah. Satu waktu, ia membuat ibumu menangis. Kau mengetehauinya dan menganggap ia adalah musuhmu. Trauma yang ia tinggalkan secara tak sengaja pada hati mungilmu berdampak besar. Kau kerap lupa bahwa seorang suami yang buruk belum tentu merupakan ayah yang buruk juga. Dia mungkin egois, tapi di dalam hatinya, kaulah yang utama. Kau, anaknya.
Lalu kau dewasa. Bekerja dan bertemu banyak orang yang berbeda-beda perangainya. Kau baru sadar, berbeda pendapat dengan ayahmu tidak sebanding dengan ini semua. Ketika ada waktu libur, kau menyambangi rumah yang dulu kau tinggali. Bertemu ayahmu yang kini memelihara ayam dan perutnya mulai membuncit. Sudah memakai kacamata sebab rabun dimakan usia. Duduk berdua, bercerita segala hal. Kali ini, tanpa tarik urat.
Ayahmu memberikan petuah-petuah yang awalnya tak kau yakini, tapi benar adanya. Kau salim punggung tangan yang kian keriput itu. Tangan yang dulu kuat dan gagah, kini hanya aki-aki berusia setengah abad. Mulai detik itu, doamu makin kencang perihal meminta panjang usia ibu dan ayah. Agar keduanya dapat melihatmu sukses di masa depan. Benar tidak?
Kau pun bertemu kekasih hatimu, berkencan, kemudian memutuskan menikah. Meminta pendapat lelaki itu lagi seperti kau jatuh hati pertama kali. Apakah ini sudah tepat? Apakah dengan dia bisa kau lalui mahligai rumah tangga? Ayahmu setuju. Sebagai kepala keluarga, pendapatnya mutlak. Kau kini berpindah kartu keluarga. Tak ada lagi nama ayahmu dalam daftar kontak darurat di formulir pendaftaran rekening bank baru milikmu. Sekarang, sudah beda. Sekarang, sudah bukan dengan ayah.
Pun demikian, tetap kau ditengoknya. Beliau mampir ke rumahmu, mencoba masakanmu, bermain bersama anakmu yang dibanggakannya sebagai cucu kesayangan. Ia menyelipkan uangnya yang tidak seberapa itu ke tangan kecil anakmu. “Untuk jajan,” katanya. Kau dari balik dapur hanya bisa menangis dalam diam. Sebab beras yang kau masak kala itu pun, merupakan buah tangan dari beliau. Pada nyatanya, ayahmu tak pernah benar-benar meninggalkanmu. Dia di sana, siap pasang badan untuk membelamu dihadapan dunia. Bahkan membelamu dari pasangan hidupmu sekalipun.
Semua orang menua, ayahmu juga. Sakit semakin banyak, semakin rewel. Kau makin jengan sebab harus merawat ayah ibumu sebagai bukti bakti seorang anak. Kau banyak mengeluh. Kau lupa bahwa dulu, ada dia yang tidurnya kau buat tak nyenyak sebab bergadang saat kau sakit. Kau lupa bahwa dulu, ada dia yang lari terbirit-birit dari kantor sebab kau masuk rumah sakit karena demam. Kau lupa bahwa dulu, ada dia yang tak tahu caranya menjadi orangtua, tapi tetap membesarkanmu dengan baik hingga sekarang.
Hingga tiba masanya, ia berpulang lebih dulu ke pangkuan Tuhan. Laki-laki tangguh yang dulu menggendongmu kesana-kemari kini dikebumikan dalam tanah. Kau hanya bisa menangis meraung sebab kata maaf belum sempat terucap dari lisanmu yang sering menyakiti hatinya. Ayahmu yang semasa hidupnya kelewat tenang dan kurang ekspresif itu membuatmu tak banyak bicara mengenai betapa kau meyayanginya. Sekarang, yang bisa kau peluk hanyalah nisan dingin yang terukir namanya.
Maka, sebelum semua terlambat,
Peluk beliau dan katakan, “terimakasih ayah. Terimakasih karena sudah menyayangiku hingga sekarang.”.
*)Redaksi : Putri Syahrani
0 comments on “Tentang Cinta Ayah yang Bersembunyi Di balik Tenang” Add yours →