Klatak klatak. Suara bara api berlompatan di atas panggangan satai sebuah warung, diikuti aroma gosong yang khas memikat. Antrean sedikit mengular di warung satai tersebut, tepatnya di Perumahan Bangun Reksa Indah, Kecamatan Karang Tengah, Kota Tangerang, Banten, Rabu (23/10/2024) malam. Dekat antrian, seorang pengunjung duduk menikmati lumuran sambal kacang di piringnya. Daging satai ayam hangat dan empuk disantapnya dengan cacahan bawang merah. Sejumput sambal dan sepotong kecil lontong pun mengiringi suapan laparnya. Nikmat!
Demikian kelezatan satai begitu indah dan meluluhkan. Antrean di depan warung menjadi gambaran kecil kenikmatannya yang telah menjadi bahasa universal akan selera rasa umat manusia. Popularitasnya bahkan memenuhi majalah kuliner internasional, direkomendasikan oleh turis mancanegara, memperoleh kajian akademik, bahkan sampai-sampai pernah diklaim sebagai makanan khas negara tetangga.
Namun melampaui itu semua, satai yang dikenal sebagai makanan tradisional dan telah menjadi simbol gastronomi nasional rupanya mengandung identitas keberagaman global. Meski tercatat sebagai kuliner tradisional Indonesia, namun bagian-bagiannya adalah hasil akulturasi dari berbagai belahan dunia. Penelitian Hammons (1973) melacak bahwa kacang, sebagai bahan utama saus satai, diperkenalkan oleh bangsa Portugis. Sebelumnya, kehadiran kacang sendiri ditemukan Portugis dalam pertemuan mereka dengan masyarakat Indian di Benua Amerika. Sementara Anastassakis (2022) mencatat bahwa bawang merah pertama kali dikembangkan di wilayah Mesir dan Persia.
Artinya, dari sepiring satai terkandung kesatuan identitas dan budaya. Dalam kelezatannya, ragam asal-usul tersebut hilang dalam satu identitas: makanan tradisional Indonesia. Dengan demikian, negara dan bangsa (dalam hal ini adalah Indonesia), merupakan alat penyatuan identitas tersebut––sekaligus, mengembangkan satai menjadi begitu populer, bahkan kini telah menjadi sumber inspirasi bagi banyaknya menu-menu lezat lainnya.
Dari sepiring satai pula generasi muda dapat belajar akan integrasi identitas. Piring satai ibarat sebuah ruangan. Sementara bahan-bahan dasar satai tersebut mewakili muda-mudi yang berbeda; sebut saja namanya Lusi yang berdarah Manado, Arif keturunan Betawi, Imel dari suku Dayak, dan Syarif yang lahir di Aceh. Masing-masing jelas mengusung identitas kesukuan. Bahkan selain kesukuan tersebut, masing-masing juga memiliki karakter, pengalaman, cerita keluarga, dan hobi yang berbeda-beda.
Di ruangan tersebut, mereka dituntut untuk menjadi produktif dengan memasak sepiring satai. Tentu saja, jalan terbaik adalah dengan bersatu, mempertemukan gagasan, dan berbagi tugas. Kesatuan kolaborasi ditunjukkan dengan Lusi yang menusukkan daging ayam ke tusuk kayu, Arif yang memanggang satai, Imel yang mengulek bumbu kacang, dan Syarif yang memadukan semua bahan menjadi satu. Akhirnya, dari kesatuan tersebut mereka berhasil menghidangkan sepiring satai yang luar biasa lezat––sekaligus belajar, bahwa identitas menjadi tidak lagi esensial ketika berada dalam suatu ruang tumbuh yang sama.
Dari ilustrasi panjang tersebut, sampailah pada kesadaran bahwa pada akhirnya ruang tumbuh tersebut adalah negara Indonesia. Apabila konsep negara masih terlalu luas untuk dibayangkan, dapatlah disadari bahwa ruang tersebut adalah kota kita tinggal, atau bahkan RT kita, atau bahkan lingkungan kuliah, kerja, dan main kita.
Tiap harinya, kita hidup dalam ruang-ruang tumbuh tersebut. Tiap harinya pula, ruang-ruang tumbuh diisi bukan hanya oleh kita, namun juga kehadiran orang lain––baik itu kawan, keluarga, senior, guru, bahkan mereka yang mungkin tidak kita kenal seperti pekerja bangunan, pengemudi ojek, dan pemulung.
Tanpa disadari, justru dengan kehadiran orang-orang itulah ruang yang kita hidupi tersebut menjadi “ruang tumbuh”––sebuah ruang pertumbuhan pikiran, pengetahuan, dan karakter melalui persatuan dan penanggalan identitas. Hanya melalui persatuan itu pulalah, masing-masing individu di dalam ruang tersebut mampu menghidupi pertumbuhannya, dan pada akhirnya tumbuh secara bersama-sama. Itulah mengapa, kita mudah mendapati suatu perumahan yang rukun, RT yang berprestasi, kecamatan yang wisatanya unggul, kota yang toleran, bahkan negara yang maju. Sebabnya, masing-masing individu di dalamnya secara bijaksana memilih untuk bertumbuh.
Akhir kata, selamat bersatu, selamat bertumbuh, dan selamat menikmati sataimu…
Oleh: Josef Christofer Benedict
REFERENSI
Hammons, R. O. (1973). Early History and Origin of the Peanut. R. B. Handy, Peanuts: Culture and Uses. Oklahoma: American Peanut Research and Education Society (APRES), 17-45.
Anastassakis, K. (2022). Allium Cepa (Red Onion). In: Androgenetic Alopecia From A to Z. Springer, Cham. https://doi.org/10.1007/978-3-031-08057-9_54
0 comments on “Bertumbuh Bareng di Piring Satai” Add yours →